Edukasi

Pesona Desa Berpagar Raksasa di Kutai Kartanegara

MUARA WIS (NK) – Pagar raksasa sayup warna-warni menjulang seperti menyambut kedatangan siapa saja yang ingin berlabuh ke Desa Muara Enggelam. Ya, News Kaltim berkesempatan mengunjungi desa terpencil di tengah Danau Melintang, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Diantar Syaiful sebagai motoris Longboad bermesin 40 PK, saya tiba Pukul 11.10 Wita pada 3 Januari 2021. Dari Kotabangun ke Desa Muara Enggelam memakan waktu sekitar 90 menit. Arahnya menuju ke hilir dan memasuki Sungai Pela –salah satu anak Sungai Mahakam yang menghubungkan Danau Melintang ke Badan Sungai Mahakam–

Saya memasuki gerbang raksasa yang tampak kukuh sebagai pintu masuk Desa Muara Enggelam. Namun siang itu, desa yang mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan tampak lengang. “Warga banyak yang turun ke Kotabangun dan Samarinda, karena liburan panjang, jadi desa tampak sepi,” kata Nurul penjual es dan jajanan anak-anak itu.

Desa Muara Enggelam sesuai catatan dihuni 747 jiwa, dengan total 178 kepala keluarga, terbagi menjadi tiga Rukun Tetangga (RT). Untuk menuju desa ini, selain menembus Danau Melintang menggunakan perahu kecil. Sebenarnya ada jalan lain, menggunakan jempatan ulin kurang lebih 500 meter menyeberangi danau hingga ke daratan. Namun, jika kondisi air pasang, maka jalan itu tenggelam.

Selain itu, kondisi di ujung jembatan jalannya masih rusak, sehingga sangat sulit dilalui kendaraan. Dengan kondisi tersebut terpaksa warga yang akan berbelanja memenuhi kebutuhan pokok harus ke Kotabangun menggunakan perahu sebagai transportasi andalan warga Desa Muara Enggelam.

Sebagian besar warga di desa ini memiliki tempat tinggal unik, yakni rumah rakit. Sehingga tidak khawatir bila banjir datang ataupun air surut. Tetapi jika ada kapal lewat, rumah pun ikut berayun-ayun seperti berada di dalam kapal. Walau mayoritas rumah adalah rakit, ada juga yang membangun rumah menggunakan tiang pancang, sehingga rumah akan tampak tinggi jika air surut.

—PAGAR RAKSASA—

Kondisi alam di tengah danau sudah pasti sering terjadi. Pembangunan pagar raksasa pun bukan tanpa alasan. Ada cerita dibaliknya. Seperti gulma (rumput) danau yang biasanya tertiup angin hingga menutupi desa. Sampai terjangan angin kencang serta ombak yang pernah membuat beberapa rumah hampir roboh.

Menurut Ramsyah, salah satu warga di Muara Enggelam, gulma yang berkumpul membentuk seperti daratan, kemudian terbawa arus dan mendorong rumah warga. Karena kediaman yang mayoritas adalah rumah rakit dan diikat, tali penahan rumah pun bisa putus, karena tak kuat.

“Di danau ini dulunya masih banyak pohon, paling banyak jenis pohon Jeluma. Batang pohonnya biasa diambil untuk bahan bakar pembuatan ikan asap, karena kebakaran dan perambahan hutan, membuat pohon-pohon itu habis sama sekali,” jelasnya.

Dia menyebut, musibah dasyat dari alam pun sudah terjadi beberapa kali. Terakhir pada 2004, hingga akhirnya disepakati pada 2005 diawali dengan musyawarah desa disepakati usulan agar dibangun pagar penahan angin dan pemecah ombak. Sekaligus menahan tumpukan gulma yang larut terbawa arus danau.

“Kami bersepakat membangun tanggul pemecah ombak. Dari sisi tinggi, kita sepakati setinggi 12 meter. Untuk lebar, tergantung anggaran. Pokoknya cukup untuk melindungi desa,” kenang Ramsyah.

Pembangunan pun dimulai dengan memanfaatkan dana awal dari anggaran Dinas Perhubungan Kutai Kartanegara. Terbangunlah tanggul dengan panjang sekira 40 meter sebagai tahap awal.

Beberapa tahun kemudian, pembangunan tahap kedua melalui dana APBD yang dianggarkan lewat Dinas Pekerjaan Umum, bentangnya memanjang lebih dari 100 meter. Bentuknya tak lurus. Lebih melengkung seolah memeluk desa agar terlindungi dari terpaan alam.

“Tahap ketiga telah selesai beberapa tahun lalu dan kini panjangnya hampir 300 meter. Ada gerbang masuk di tengah-tengah yang memudahkan warga keluar masuk desa,” ujar Ramsyah.

Tak disangka, pembangunan gerbang pelindung itu hasilnya luar biasa indah. Mereka pun telah berinisiatif mendaftarkan tanggul atau pagar penahan ombak dan angin tersebut ikut dalam Festival Gapura Cinta Negeri tingkat nasional tahun 2019 lalu. Tak disangka mereka mampu bersaing dengan 1.793 gapura dari berbagai daerah dan masuk sebagai salah satu pemenang.(munanto)