PLTU Batubara Indominco Mandiri Dipidana Rp2 Miliar
JATAM Desak Cabut Izin dan Tutup Seluruh Tambang PLTU Indominco Mandiri
JAKARTA (NK) – Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, mengatakan, pihaknya mendesak Pemerintah dan Pengadilan tidak hanya menjatuhkan pidana lingkungan hidup berupa denda atas PT Indominco Mandiri namun juga menjatuhkan hukuman pidana penjara dan pencabutan izin tambang agar perusahaan batubara ini hengkang dari Indnesia. Demikian siaran pers JATAM yang diterima newskaltim.com, Kamis (8/3/2018).
Putusan pidana lingkungan hidup atas PT Indominco Mandiri tersebut dijatuhkan setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerima laporan warga Desa Santan, Kalimantan Timur (Kaltim) yang mendapatkan dampak seluruh lingkaran bisnis batubara indominco mulai dari penambangan, pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga pembuangan limbahnya,”ujarnya.
JATAM, lanjutnya, juga mempertanyakan putusan pidana lingkungan hidup nomor 526/Pidsus/LH/2017/PN.Tgr ini, yang memberikan pidana denda sebesar Rp2 miliar, namun menghilangkan pidana penjara kepada pimpinan perusahaan asing dari Banpu Group Thailand ini, tercantum diputusan yang diputuskan 4 Desember 2017 ini, setelah pergantian maka direktur PT Indominco saat ini bernama Andre Herman Bramantya Putra menggantikan direktur sebelumnya yang berkewarganegaraan Thailand Kirana Limpaphayom.
Padahal, tambah Merah, sesuai Pasal 60, pasal 104 dan pasal 116 UU perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Menurutnya, putusan yang disoal JATAM tersebut menyatakan terdakwa pimpinan tertinggi Indominco Mandiri bersalah, menjatuhkan pidana denda sebesar Rp2 miliar dan menghukum terdakwa melakukan pengelolaan limbah B3 Fly ash dan bottom ash sebanyak 4000 ton dengan perusahaan berizin.
“Kami ingin negara menegakkan pidana korporasi yang tidak setengah-setengah, denda Rp2 miliar kemudian mereka bisa beroperasi dengan memperbaiki pengelolaan limbah seperti yang disebut dalam putusan ini menurut kami, tidak akan berdampak pada korporasi itu, kami ingin perusahaan ini dicabut izinnya dan hengkang,”ujar Merah Johansyah.
Ia menuturkan, sudah ada Peraturan Mahkamah Agung, Perma Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana pada Korporasi, diluar itu juga Pemerintah memiliki diskresi sekaligus kewenangan untuk mencabut izin tambang ini karena jika suatu perusahaan sudah melakukan pidana korporasi mestinya sebagai suatu peristiwa kejahatan hukum tertinggi sudah tak boleh lagi beroperasi.
“Perusahaan tambang batubara PT. Indominco Mandiri adalah perusahaan yang beroperasi di tiga kawasan di Kaltim, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Bontang, dan Kutai Timur. Tambang batu-bara ini juga mendapat izin istimewa untuk menambang di kawasan hutan lindung,”bebernya.
Selain aktivitas pengerukan batubara, jelasnya, PT Indominco juga memiliki PLTU dengan kapasitas 2X7 Mw. PLTU ini berada di Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kukar.
Merah Johansyah menegaskan, pimpinan PT Indominco harus dipidana penjara selain pidana denda yang telah diputuskan. Dirinya mempertanyakan lenyapnya pidana penjara dalam putusan ini, sehingga JATAM mendesak agar Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar agar mengambil tindakan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan atau Perjanjian Kerjasama Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Indominco Mandiri seluruhnya.
“Putusan Pidana ini dapat menjadi dasar pencabutan atau sanksi administrasi maksimal sesuai pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 2 tahun 2013 tentang Sanksi Adminstratif Pencabutan Izin bagi perusahaan hitam ini, sesuai dengan prinsip hukum UU PPLH, Premium Remedium yang artinya sanksi administratif maksimal dapat dilakukan bersamaan dengan Pidana, tanpa menunggu salah satunya. Kami ingin PT Indominco angkat kaki dari Kalimantan dan Indonesia, seluruh bantuan keuangan dan finansial penyokong mereka harus diseret pertanggungjawabannya,”pungkasnya.
Untuk diketahui, pada 19 Oktober 2017 silam, Pengadilan Negeri Tenggarong melakukan sidang lapangan di lokasi PLTU milik PT. Indominco Mandiri. Sidang lapangan ini terkait kasus dugaan pembuangan limbah fly ash dan bottom ash yang ditengarai dilakukan tanpa izin oleh PT Indominco Mandiri.
Hadir dalam sidang lapangan saat itu, Nasrullah Kepala Desa Santan Tengah dan beberapa perwakilan warga Santan Ilir dan Santan Tengah. Namun tidak semua warga diperbolehkan untuk masuk di lokasi sidang lapangan yang dilakukan.
Taufik salah satu warga Santan Ilir yang ikut mengawal proses sidang ini mengatakan, ada kekecewaan karena tidak dilibatkan dan merasa dihalangi oleh pihak keamanan perusahaan. “Padahal warga yang paling pertama mendapatkan dampak dari aktifitas PLTU adalah warga Santan karena terdampak debu, dan asap,”ujarnya.
Romiansyah seorang warga lainnya, menegaskan, warga Santan, Marangkayu akan mengawal kasus ini sampai selesai.”Sudah cukup Sungai Santan yang dicemari. Jangan lagi menambah pencemaran melalui diudara dan air tanah,” tandas.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan, kasus pencemaran lingkungan yang melibatkan PT Indominco Mandiri ini terungkap pada September 2015 lalu. “Kasus ini dilaporkan warga ke KLHK, KLHK kemudian yang memproses hukum,”tukasnya.
Ia menilai, PT Indominco memang harus diadili mengingat tempat pembuangan limbah fly ash dan bottom ash terbukti mencemari tanah dan udara.Selain itu, tempat pembuangan itu tidak berizin.
“Persoalan yang melibatkan PT Indominco Mandiri bukan kasus limbah B3 ini saja. Beberapa kasus lainnya juga menyudutkan perusahaan Perjanjian Kerjasama Pertambangan Batubara (PKP2B) tersebut. Ini persoalan kompleks yang dilakukan PT Indominco. Ada lagi soal pemotongan sungai santan dan menambang di luar konsesi,”urainya. (ervan/nk)